Dalam deretan kuliner kaki lima yang menjamur di pinggir jalanan ibu kota, sate taichan punya tempat tersendiri di hati para pecinta pedas dan makanan simpel. Berbeda dari sate ayam tradisional yang menggunakan bumbu kacang atau kecap manis, sate taichan tampil polos—daging ayam tanpa bumbu, hanya dibumbui garam dan perasan jeruk nipis, lalu disajikan dengan sambal super pedas. Namun, ada satu fenomena unik (dan cukup ekstrem) yang muncul dari warung-warung taichan gerobakan: penggunaan tusuk sate karatan dan peralatan yang meragukan higienitasnya.
Kesederhanaan yang Menjerat Lidah
Sate taichan pada dasarnya adalah olahan minimalis. Ayam yang dipotong kecil-kecil ditusuk, dibakar tanpa olesan bumbu, hanya ditaburi sedikit garam. Penyajiannya pun sangat sederhana—seiris daging putih pucat dengan sambal merah menyala https://www.iowachange.org/ dan lontong atau nasi di sampingnya.
Justru dari kesederhanaan inilah daya tariknya muncul. Rasa gurih alami dari ayam dan sentakan pedas dari sambal memberikan sensasi makan yang unik. Banyak anak muda menyebutnya sebagai “sate untuk generasi anti ribet.” Murah, cepat saji, dan tentu saja pedas menggigit—trio yang sulit ditolak.
Gerobakan dengan Peralatan Serba Apa Adanya
Namun, di balik kelezatannya, banyak gerobak sate taichan yang menyimpan kisah kuliner jalanan yang ekstrem. Salah satunya adalah penggunaan tusuk sate yang sudah berkarat. Beberapa penjual, karena alasan ekonomi, menggunakan tusuk besi berulang-ulang tanpa mengganti atau membersihkannya secara optimal. Di permukaan tusuk, terlihat bercak hitam dan warna kusam—yang oleh sebagian pelanggan dianggap “bonus cita rasa”.
“Kalo udah malam, lapar, dan sambalnya enak, siapa peduli tusuknya karatan?” ujar Rama, mahasiswa yang mengaku jadi langganan gerobak taichan dekat kampusnya. “Yang penting besok nggak sakit perut.”
Beberapa gerobak bahkan menggunakan kipas tangan atau blower seadanya, membakar sate di atas arang yang dipanaskan di wadah bekas cat atau ember rombeng. Belum lagi sambal yang ditaruh di wadah terbuka dan sering diaduk dengan sendok yang sama sejak sore.
Antara Kenekatan dan Kenikmatan
Fenomena ini menimbulkan dua kutub: satu pihak menyuarakan kekhawatiran tentang sanitasi, sementara yang lain menganggap ini bagian dari romantika kuliner kaki lima. “Kalau semuanya harus higienis seperti restoran, nanti nggak ada cerita lagi dari pinggir jalan,” kata seorang food vlogger lokal yang justru mengulas warung-warung ekstrem seperti ini.
Tak bisa dipungkiri, bagian dari daya tarik sate taichan gerobakan justru datang dari “kesan nekad” tersebut—pengalaman makan yang mendekati batas antara kenikmatan dan risiko.
BACA JUGA: Keripik Pedas Ijo (Sambal Matah) dari Bali